Masih ttg beladiri tanah air, kali ini tulisan mas Eko Hadi Sulistia, Bravo Pencak Silat Indonesia!!
Tanah Abang, yang merupakan salah satu sentra perdagangan di Ibukota Jakarta dikenal sebagai salah satu sentra grosir pakaian yang terbesar di Indonesia bahkan ada yang berpendapat terbesar di Asia Tenggara.
Selain terkenal sebagai sentra perdagangan tekstil, Tanah Abang juga dikenal sejak dulu sebagai salah satu tempat yang melahirkan jago-jago silat (“maen pukulan”) salah satunya adalah Sabeni yang merupakan tokoh Betawi yang dikenal dengan jurus kelabang nyebrang dan merak ngigel. Jurus-jurus aliran Sabeni terkenal karena kecepatan dan kepraktisannya. Salah satu ciri khasnya adalah permainan yang rapat dan gerak tangan yang sangat cepat. Jurus-jurus aliran Sabeni apabila ditelaah lebih jauh merupakan aliran yang mengutamakan penyerangan dan tidak memiliki kembang dan murni untuk beladiri, berbeda dengan aliran Betawi lainnya yang dapat dipergunakan untuk tarian/ngibing.
Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala Tanah Abang dari orang tua bernama Channam dan Piyah. Sabeni namanya mulai mengemuka setelah Sabeni mampu menghadapi salah satu Jago daerah kemayoran yang berjuluk Macan Kemayoran ketika hendak melamar puteri si Macan Kemayoran untuk dijadikan isteri. Selain itu Peristiwa-peristiwa lainnya antara lain pertarungan di Princen Park (saat ini disebut Lokasari) dimana Sabeni berhasil mengalahkan Jago Kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu yang tidak menyukai aktivitas Sabeni dalam melatih maen pukulan para pemuda Betawi dan yang sangat fenomenal adalah ketika Sabeni dalam usia lebih dari 83 tahun berhasil mengalahkan jago-jago beladiri Yudo dan Karate yang sengaja didatangkan oleh penjajah Jepang untuk bertarung dengan Sabeni di Kebon Sirih Park (sekarang Gedung DKI) pada tahun 1943 atas kemenangannya Sabeni dibebaskan dan diberi hadiah satu dus kaos singlet dan satu dus handuk.
Sampai usia 84 tahun Sabeni masih mengajar maen pukulan (beliau mengajar hampir keseluruh penjuru jakarta bahkan untuk mendatangi tempat mengajar beliau biasanya berjalan kaki), sampai meninggal dunia dengan tenang dan didampingi oleh murid dan anak-anaknya pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 1945 atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam usia 85 Tahun, beliau dimakamkan di Jalan Kuburan Lama Tanah Abang, yang lalu atas perjuangan Bapak M. Ali Sabeni salah satu putera beliau oleh pemerintah daerah DKI diganti menjadi Jalan Sabeni.
Saat ini aliran Sabeni dilestarikan oleh anak dan keturunan dari Sabeni dan berpusat di daerah Tanah Abang, salah satunya adalah Bapak M. Ali Sabeni yang merupakan anak ke-7 dari Sabeni yang selain sebagai penerus Silat Sabeni juga seorang tokoh seniman Sambrah Betawi (Orkes Melayu Betawi). Karena faktor usianya yang sudah 72 tahun lebih, tugas melatih saat ini diserahkan kepada putera laki-lakinya Bang Izul. Dalam salah satu kesempatan Bapak M. Ali Sabeni mengutarakan keinginannya agar Silat Sabeni ini dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi muda agar warisan ini tidak hilang oleh gerusan zaman. (Eko Hadi Sulistia)
Tanah Abang, yang merupakan salah satu sentra perdagangan di Ibukota Jakarta dikenal sebagai salah satu sentra grosir pakaian yang terbesar di Indonesia bahkan ada yang berpendapat terbesar di Asia Tenggara.
Selain terkenal sebagai sentra perdagangan tekstil, Tanah Abang juga dikenal sejak dulu sebagai salah satu tempat yang melahirkan jago-jago silat (“maen pukulan”) salah satunya adalah Sabeni yang merupakan tokoh Betawi yang dikenal dengan jurus kelabang nyebrang dan merak ngigel. Jurus-jurus aliran Sabeni terkenal karena kecepatan dan kepraktisannya. Salah satu ciri khasnya adalah permainan yang rapat dan gerak tangan yang sangat cepat. Jurus-jurus aliran Sabeni apabila ditelaah lebih jauh merupakan aliran yang mengutamakan penyerangan dan tidak memiliki kembang dan murni untuk beladiri, berbeda dengan aliran Betawi lainnya yang dapat dipergunakan untuk tarian/ngibing.
Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala Tanah Abang dari orang tua bernama Channam dan Piyah. Sabeni namanya mulai mengemuka setelah Sabeni mampu menghadapi salah satu Jago daerah kemayoran yang berjuluk Macan Kemayoran ketika hendak melamar puteri si Macan Kemayoran untuk dijadikan isteri. Selain itu Peristiwa-peristiwa lainnya antara lain pertarungan di Princen Park (saat ini disebut Lokasari) dimana Sabeni berhasil mengalahkan Jago Kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu yang tidak menyukai aktivitas Sabeni dalam melatih maen pukulan para pemuda Betawi dan yang sangat fenomenal adalah ketika Sabeni dalam usia lebih dari 83 tahun berhasil mengalahkan jago-jago beladiri Yudo dan Karate yang sengaja didatangkan oleh penjajah Jepang untuk bertarung dengan Sabeni di Kebon Sirih Park (sekarang Gedung DKI) pada tahun 1943 atas kemenangannya Sabeni dibebaskan dan diberi hadiah satu dus kaos singlet dan satu dus handuk.
Sampai usia 84 tahun Sabeni masih mengajar maen pukulan (beliau mengajar hampir keseluruh penjuru jakarta bahkan untuk mendatangi tempat mengajar beliau biasanya berjalan kaki), sampai meninggal dunia dengan tenang dan didampingi oleh murid dan anak-anaknya pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 1945 atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam usia 85 Tahun, beliau dimakamkan di Jalan Kuburan Lama Tanah Abang, yang lalu atas perjuangan Bapak M. Ali Sabeni salah satu putera beliau oleh pemerintah daerah DKI diganti menjadi Jalan Sabeni.
Saat ini aliran Sabeni dilestarikan oleh anak dan keturunan dari Sabeni dan berpusat di daerah Tanah Abang, salah satunya adalah Bapak M. Ali Sabeni yang merupakan anak ke-7 dari Sabeni yang selain sebagai penerus Silat Sabeni juga seorang tokoh seniman Sambrah Betawi (Orkes Melayu Betawi). Karena faktor usianya yang sudah 72 tahun lebih, tugas melatih saat ini diserahkan kepada putera laki-lakinya Bang Izul. Dalam salah satu kesempatan Bapak M. Ali Sabeni mengutarakan keinginannya agar Silat Sabeni ini dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi muda agar warisan ini tidak hilang oleh gerusan zaman. (Eko Hadi Sulistia)
0 comments:
Post a Comment