Saya tergelitik untuk tampilkan postingan seorang sahabat yang juga saya anggap sebagai kakak, Ki Sawung, yang dimuat di Forum Sahabat Silat, Tentang satu aliran beladiri di Jawa Barat yang disebut sebagai Timbangan, dimana beladiri ini adalah mempunyai konsep "welas asih", Lha kok aneh namanya beladiri tapi kok saya bilang welas asih? Supaya ga penasaran silahkan disimak kutipan ini...
SEJARAH
Aliran pencak silat di Jawa Barat yang baru terungkap melalui penelitian adalah aliran Cimande, Cikalong dan Timbangan. Namun, Timbangan sendiri menurut para penganutnya, bukanlah merupakan aliran pencak silat, melainkan suatu beladiri mandiri terpisah dari pencak silat. Hanya di kalangan ahli-ahli pencak silat saja Timbangan disejajarkan dengan aliran-aliran pencak silat lain, karena memang kebanyakan yang mempelajari Timbangan itu sebelumnya telah mempunyai latar belakang pencak silat.
Banyak yang tidak mengetahui secara persis tentang beladiri Timbangan ini, karena perkembangannya terkesan tertutup dan sepi dari publikasi. Memang begitu kenyataannya. Para ahli Timbangan pada umumnya tidak mencari murid. Siapa yang datang dan memenuhi kriteria tertentu sajalah yang akan diterima sebagai murid.
Timbangan lahir di Bandung, dengan pendirinya adalah Rd. Anggakusumah, putra Rd. Haji Adra'I, seorang Penghulu Kepala di Sumedang. Ia dilahirkan di Sumedang pada bulan Oktober 1887.
Pada masa mudanya, ia aktif di organisasi Syarikat Islam di Bandung. Namun, karena sifatnya yang kritis terhadap masalah sosial politik pada waktu itu, maka pada tahun 1919 Pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakannya di penjara Banceuy.
Di dalam penjara, ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan lain. Bersama mereka sering dilakukan diskusi-diskusi mengenai keadaan bangsanya. Ada satu kelebihan Rd. Anggakusumah, yaitu ia tidak hanya dapat melihat masalah bangsanya dengan kacamata politik, tetapi juga dengan kacamata filsafat.
Dengan melalui perenungan filsafat itulah Rd. Angga Kusumah mmenemukan suatu cara agar manusia selamat dalam menjalankan hidup di dunia yang fana ini. Hasil renungannya dibukukan dalam tiga buah kitab berbahasa Sunda yang disusun dalam bentuk guguritan, yaitu Guaroma (Gurinda Alam Rohani Majaji), Ibtat (Imam Bener Tetengger Allah Ta'ala) dan Satahama (Sareat, Tarekat, Hakekat, Ma'rifat). Lahirnya kitab ini dianggap sebagai lahirnya sistem beladiri Timbangan, karena sejak itulah dimulainya latihan-latihan pembelaan diri terhadap serangan yang ditujukan pada rohani. Bentuk-bentuk latihannya adalah diskusi-diskusi antar tahanan yang dimaksud untuk membentuk kepribadian yang kuat.
Pada tahap perenungan berikutnya, ternyata didapati suatu kenyataan bahwa banyak orang lemah yang mengalami pederitaan karena ditindas oleh orang yang kuat walaupun ia berada pada pihak yang benar. Itulah sebabnya Rd. Anggakusumah mulai memikirkan pembelaan diri dalam segi jasmani.
Dari penjara Banceuy, Rd. Anggakusumah dipindahkan ke penjara Sawahlunto, Sumatera yang banyak dihuni oleh penjahat dan pembunuh. Di tempat inilah hasil renungannya sempat digunakan untuk melumpuhkan seorang narapidana gila yang sedang mengamuk dan banyak melukai narapidana lain. Selain itu, jagoan-jagoan lain yang merasa iri ini dapat pula ditaklukkan dan disadarkan, sehingga akhirnya menjadi sahabat Rd. Anggakusumah dan berusaha budi pekertinya yang buruk.
Pada tahun 1923, Rd. Anggakusumah dilepaskan dari penjara dan kembali ke Bandung, namun latihan Timbangan baru dilakukan mulai sekitar tahun 1928 sampai tahun 1942. Yang berlatih Timbangan saat itu kebanyakan adalah pemuda-pemuda pergerakan dan tokoh-tokoh pencak silat yang sudah terkenal di Bandung, diantaranya adalah Rd. Ema Bratakusumah (tokoh Sunda yang mendirikan organisasi Sekar Pakuan), Rd. Adibrata (ayahanda Rahmat Hidayat, aktor film), Obed, Salim, Rd. Memed dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah seorang penerus Rd. Anggakusumah adalah anaknya sendiri, yaitu Rd. Muhyidin Anggakusumah. Namun, keduanya kini telah meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan di Pemakaman Umum Nyengseret, Bandung.
Berbeda dengan umumnya sistem beladiri lain, dalam pelaksanaannya aliran Timbangan tidak bertujuan untuk melumpuhkan lawan, akan tetapi untuk menyadarkan lawan bahwa pendekar Timbangan tidak beritikad buruk terhadapnya, dan dengan demikian merangkul lawan ke dalam suatu persahabatan serta hidup bersama dengan tentram dan bahagia.
Tahap pertama dalam menghadapi lawan adalah dengan berbicara dari hati ke hati, di sini sasaran serangannya adalah rohani lawan. Seandainya kata-kata yang lemah lembut dan sopan tidak diterima dan lawan tetap melakukan kekerasan, barulah pendekar Timbangan melakukan perlawanan yang bersifat jasmani.
Pola dasar pelaksanaan sistem beladiri timbangan yang bersifat jasmaniah ialah merebut kedudukan sedemikian rupa, sehingga lawan berada di dalam kedudukan sukar menyerang dan mudah diserang. Seandainya kedudukan seperti itu berulang-ulang atau terus-menerus dikuasai oleh pendekar Timbangan, akan tetapi ia tidak memanfaatkannya dengan melakukan serangan, diharapkan lawan menyadari bahwa pendekar Timbangan yang sebenarnya telah mengalahkannya itu tidak beritikad buruk terhadapnya. Sehingga akhirnya lawan akan menyerah, namun tidak menaruh dendam, bahkan balik menhormat dan bersahabat.
Untuk merebut kedudukan yang ideal, seorang pendekar Timbangan akan memberi kesempatan kepada lawan untk membuka serangan. Arus tenaga tidak ditangkis, karena aliran Timbangan tidak mempergunakan teknik tangkisan, akan tetapi dibelokkan atau dihindarkan, maka kedudukan lawan menjadi labil. Dalam keadaan labil inilah segera dilakukan penutupan atau perebutan kedudukan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
TEKNIK
Untuk dapat melaksanakan taktik yang seakan-akan sangat sederhana itu dibutuhkan keterampilan dan teknik yang banyak jenisnya dan tidak mudah dikuasai. Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi:
1.Kepekaan Rasa
2.Kecepatan Reaksi
3.Menetapkan Jarak
4.Menempel
5.Menilai Sikap
6.Menyalurkan
7.Melepaskan
8.Menghindar
(Sources : The KANURAGAN Tabloid , Gending Raspuzi SH ; Rewritten by Andi Rafiandi)
http://victorian.fortunecity.com/cez...timbangan.html
SEJARAH
Aliran pencak silat di Jawa Barat yang baru terungkap melalui penelitian adalah aliran Cimande, Cikalong dan Timbangan. Namun, Timbangan sendiri menurut para penganutnya, bukanlah merupakan aliran pencak silat, melainkan suatu beladiri mandiri terpisah dari pencak silat. Hanya di kalangan ahli-ahli pencak silat saja Timbangan disejajarkan dengan aliran-aliran pencak silat lain, karena memang kebanyakan yang mempelajari Timbangan itu sebelumnya telah mempunyai latar belakang pencak silat.
Banyak yang tidak mengetahui secara persis tentang beladiri Timbangan ini, karena perkembangannya terkesan tertutup dan sepi dari publikasi. Memang begitu kenyataannya. Para ahli Timbangan pada umumnya tidak mencari murid. Siapa yang datang dan memenuhi kriteria tertentu sajalah yang akan diterima sebagai murid.
Timbangan lahir di Bandung, dengan pendirinya adalah Rd. Anggakusumah, putra Rd. Haji Adra'I, seorang Penghulu Kepala di Sumedang. Ia dilahirkan di Sumedang pada bulan Oktober 1887.
Pada masa mudanya, ia aktif di organisasi Syarikat Islam di Bandung. Namun, karena sifatnya yang kritis terhadap masalah sosial politik pada waktu itu, maka pada tahun 1919 Pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakannya di penjara Banceuy.
Di dalam penjara, ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan lain. Bersama mereka sering dilakukan diskusi-diskusi mengenai keadaan bangsanya. Ada satu kelebihan Rd. Anggakusumah, yaitu ia tidak hanya dapat melihat masalah bangsanya dengan kacamata politik, tetapi juga dengan kacamata filsafat.
Dengan melalui perenungan filsafat itulah Rd. Angga Kusumah mmenemukan suatu cara agar manusia selamat dalam menjalankan hidup di dunia yang fana ini. Hasil renungannya dibukukan dalam tiga buah kitab berbahasa Sunda yang disusun dalam bentuk guguritan, yaitu Guaroma (Gurinda Alam Rohani Majaji), Ibtat (Imam Bener Tetengger Allah Ta'ala) dan Satahama (Sareat, Tarekat, Hakekat, Ma'rifat). Lahirnya kitab ini dianggap sebagai lahirnya sistem beladiri Timbangan, karena sejak itulah dimulainya latihan-latihan pembelaan diri terhadap serangan yang ditujukan pada rohani. Bentuk-bentuk latihannya adalah diskusi-diskusi antar tahanan yang dimaksud untuk membentuk kepribadian yang kuat.
Pada tahap perenungan berikutnya, ternyata didapati suatu kenyataan bahwa banyak orang lemah yang mengalami pederitaan karena ditindas oleh orang yang kuat walaupun ia berada pada pihak yang benar. Itulah sebabnya Rd. Anggakusumah mulai memikirkan pembelaan diri dalam segi jasmani.
Dari penjara Banceuy, Rd. Anggakusumah dipindahkan ke penjara Sawahlunto, Sumatera yang banyak dihuni oleh penjahat dan pembunuh. Di tempat inilah hasil renungannya sempat digunakan untuk melumpuhkan seorang narapidana gila yang sedang mengamuk dan banyak melukai narapidana lain. Selain itu, jagoan-jagoan lain yang merasa iri ini dapat pula ditaklukkan dan disadarkan, sehingga akhirnya menjadi sahabat Rd. Anggakusumah dan berusaha budi pekertinya yang buruk.
Pada tahun 1923, Rd. Anggakusumah dilepaskan dari penjara dan kembali ke Bandung, namun latihan Timbangan baru dilakukan mulai sekitar tahun 1928 sampai tahun 1942. Yang berlatih Timbangan saat itu kebanyakan adalah pemuda-pemuda pergerakan dan tokoh-tokoh pencak silat yang sudah terkenal di Bandung, diantaranya adalah Rd. Ema Bratakusumah (tokoh Sunda yang mendirikan organisasi Sekar Pakuan), Rd. Adibrata (ayahanda Rahmat Hidayat, aktor film), Obed, Salim, Rd. Memed dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah seorang penerus Rd. Anggakusumah adalah anaknya sendiri, yaitu Rd. Muhyidin Anggakusumah. Namun, keduanya kini telah meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan di Pemakaman Umum Nyengseret, Bandung.
Berbeda dengan umumnya sistem beladiri lain, dalam pelaksanaannya aliran Timbangan tidak bertujuan untuk melumpuhkan lawan, akan tetapi untuk menyadarkan lawan bahwa pendekar Timbangan tidak beritikad buruk terhadapnya, dan dengan demikian merangkul lawan ke dalam suatu persahabatan serta hidup bersama dengan tentram dan bahagia.
Tahap pertama dalam menghadapi lawan adalah dengan berbicara dari hati ke hati, di sini sasaran serangannya adalah rohani lawan. Seandainya kata-kata yang lemah lembut dan sopan tidak diterima dan lawan tetap melakukan kekerasan, barulah pendekar Timbangan melakukan perlawanan yang bersifat jasmani.
Pola dasar pelaksanaan sistem beladiri timbangan yang bersifat jasmaniah ialah merebut kedudukan sedemikian rupa, sehingga lawan berada di dalam kedudukan sukar menyerang dan mudah diserang. Seandainya kedudukan seperti itu berulang-ulang atau terus-menerus dikuasai oleh pendekar Timbangan, akan tetapi ia tidak memanfaatkannya dengan melakukan serangan, diharapkan lawan menyadari bahwa pendekar Timbangan yang sebenarnya telah mengalahkannya itu tidak beritikad buruk terhadapnya. Sehingga akhirnya lawan akan menyerah, namun tidak menaruh dendam, bahkan balik menhormat dan bersahabat.
Untuk merebut kedudukan yang ideal, seorang pendekar Timbangan akan memberi kesempatan kepada lawan untk membuka serangan. Arus tenaga tidak ditangkis, karena aliran Timbangan tidak mempergunakan teknik tangkisan, akan tetapi dibelokkan atau dihindarkan, maka kedudukan lawan menjadi labil. Dalam keadaan labil inilah segera dilakukan penutupan atau perebutan kedudukan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
TEKNIK
Untuk dapat melaksanakan taktik yang seakan-akan sangat sederhana itu dibutuhkan keterampilan dan teknik yang banyak jenisnya dan tidak mudah dikuasai. Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi:
1.Kepekaan Rasa
2.Kecepatan Reaksi
3.Menetapkan Jarak
4.Menempel
5.Menilai Sikap
6.Menyalurkan
7.Melepaskan
8.Menghindar
(Sources : The KANURAGAN Tabloid , Gending Raspuzi SH ; Rewritten by Andi Rafiandi)
http://victorian.fortunecity.com/cez...timbangan.html
1 comments:
saya tertarik dengan aliran ini prinsipnya sangat mulya, dan saya pernah berlatih di gedung merdeka sekitar tahun 1971 - 1972. apakah sekarang masih ada? dan dimana? ingin rasanya bergabung kembali bernostalgia, trims
Post a Comment